TIMURKOTA.COM, BONE- Oknum Polisi Ipda SA kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri Watampone pada Selasa (26/09/23).
Sidang tersebut dipimpin Muswandar SH MH, sebagai ketua majelis hakim. Didampingi dua hakim anggota, Ahmad Sayarif SH, MH, dan Hairuddin Tomu SH.
JPU menyatakan menolak pledoi yang telah dibacakan kuasa hukum Ipda SA pada sidang sebelumnya.
"Penuntut Umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menolak seluruh pledoi dari tim penasihat hukum terdakwa Ipda SA," ucap dalam persidangan yang dihadiri korban, Hj Surianti.
Sebelumnya, Kasus tindak pidana penipuan dan penggunaan dokumen palsu yang menyeret terdakwa, Oknum Polisi, Ipda SA telah memasuki tahap sidang tuntutan.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Bone Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Syahriawan bersama dengan Indras membacakan tuntutan kepada terdakwa dengan 18 bulan penjara.
Sidang tersebut dipimpin Muswandar SH MH, sebagai ketua majelis hakim. Didampingi dua hakim anggota, Ahmad Sayarif SH, MH, dan Hairuddin Tomu SH,
"Menjatuhkan tuntutan pidana terhadap terdakwa Sainal Aibidin Bin Kulle dengan pidana penjara satu tahun, enam bulan," kata Andi Syahriawan saat membacakan tuntutan.
Hj Surianti selaku korban kemudian mengatakan, dengan tuntutan 18 bulan tersebut. Ia merasa tak puas, dirinya menilai terlalu rendah dan jauh dari hukuman maksimal.
"Saya jelas kecewa, walau fungsi jaksa sebagai pengacara negara bagi saya. Namun tuntutan 18 bulan itu terlalu rendah, dan tidak ada upaya untuk memberi efek jera kepada terdakwa," tukasnya.
Selanjutnya, Hj Surianti mengaku memiliki rekaman dari oknum APH yang meminta agar dirinya menerima uang damai yang mau ditawarkan pihak terdakwa.
"Saya sebenarnya tidak terlalu kaget, dan bahkan sudah menduga kalau tuntutan tendah. Karena ada Oknum APH pernah menyampaikan ke saya bilangnya, kalau ada nakasihki uang terlapor ambil saja karena ujung-ujungnya ringan hukumannya," tukas Hj Surianti.
Agenda sidang selanjutnya yakni pembelaan atau pledoi oleh kuasa hukum terdakwa Ipda SA.
Ipda SA atau Sainal Abidin akhirnya mengakui bahwa dirinya meminta rekannya mengedit akta cerai orang lain kemudian dirubah menjadi namanya (nama Ipda SA) di tukang foto copy.
Pengakuan itu dilontarkan Ipda SA saat menjalani sidang sebagai terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan dan penggunaan dokumen palsu di Pengadilan Negeri (PN) Watampone pada Senin (05/09/23).
"Saya minta teman untuk mengedit akte cerai di tempat foto copy," ungkapnya dihadapan majelis hakim.
Ipda SA membeberkan bahwa pemalsuan akta cerai tersebut untuk meyakinkan SR atau Hj Surianti bahwa dirinya telah bercerai dengan istri pertama alias berstatus duda.
"Untuk meyakinkan korban bahwa dia telah berpisah dengan istri pertama," tukasnya.
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi ahli dalam sidang perkara dugaan penipuan dan penggunaan dokumen paslu dengan terdakwa Ipda SA, Kamis (31/08/23).
Dalam sidang ini ahli yang dihadirkan yakni, Abd Wahid Arif, S.Ag, M.Pdi yang merupakan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Sebagai ahli terkait kepengurusan dan penerbitan dokumen pernikahan secara hukum. Abd Wahid Arif menjelaskan beberapa poin penting dalam memberikan kesaksian.
Pertama terkait surat pengantar nikah atau sering diistilahkan N1, N2, N3, dan N4. Menurutnya, dokumen ini punya blangko khusus dan hanya dimiliki oleh Kantor Kelurahan/desa.
"Dokumen itu punya blangko khusus, sehingga yang mengeluarkan kelurahan setempat," ungkapnya.
Simak video menarik di bawah ini
Kemudian terkait dengan prosedur pengambilan pengantar nikah. Calon pengantin wajib datang ke kantor lurah untuk menyampaikan data pribadi masing-masing.
"Calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan datang ke kantor lurah. Kemudian menyerahkan data-data pribadi ke staf kelurahan, setelah itu calon mempelai bertanda tangan bersama dengan lurah," tambahnya.
Kesaksian dari ahli ini sekaligus memperjelas bahwa kepengurusan surat pengantar nikah dilakukan Ipda SA bersama Hj Surianti sebelum keduanya menikah.
"Kesaksian ahli sama persis dengan apa yang kami lakukan ketika ingin mengambil surat pengantar nikah. Meski belakangan pak Sainal membantah katanya tidak pernah datang di Kantor Lurah, tapi kan ada bukti dokumen dan tanda tangannya," tukas korban, Hj Surianti.
Lanjutkan membaca >>> Klik di sini