Oleh: Zainal
Mahasiswa Program Pascasarjana UNM - Administrasi & Kebijakan Publik
Zainal |
Dimulainya tahapan Pemilu 2024 secara resmi sejak pada 14 Juni 2022 lalu, dan memasuki tahun 2023 ini yang merupakan tahun politik yang menjadi ajang tonggak konsilidasi demokrasi menuju pelaksanaan pemilu 2024 justru diantarkan beberapa catatan kritis, bukan saja isu presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan, ataupun penundaan pemilu terdengar lagi, namun juga persoalan integritas pemilu itu sendiri.
Pasca tahapan rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun Panitia Pemungutan Suara (PPS) lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bone khususnya, mendadak menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan serangan isu-isu negatif, terutama di media sosial.
Setidaknya begitulah yang tergambar dari hasil pengamatan di media pemberitaan maupun media sosial diakhir tahun 2022 lalu dan memasuki tahun 2023 ini di Kabupaten Bone.
Berdasarkan sebaran obrolan di grop WhatsApp (WA), ditemukan banyak percakapan menyerang KPU Bone dengan tuduhan tidak berintegritas dan berpihak kepada hanya sejumlah kelompok maupun personal dalam proses perekrutan PPK dan PPS.
Selain itu pemberitaan media massa baik elektronik maupun cetak banyak mengangkat tudingan ke KPU Bone yang dianggap curang dan tidak berintegritas dalam melakukan proses prekrutan.
Tidak tanggung tanggung lapor melapor terjadi antara peserta pendaftar yang merasa dirugikan dengan pihak KPU Bone ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bone, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahkan sampai kepihak kepolisian.
Terakhir, Hasil sidang Bawaslu Bone memutuskan KPU Bone terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi Pemilu.
Proses sidang Bawaslu Bone terhadap pelanggaran Admninistrasi KPU Bone. Sidang ini memutusukan pihak KPU terbukti melakukan pelanggaran dan dijatuhi sanksi teguran keras, Senin (13/02/23) lalu. |
Meski begitu, terlapor (KPU) hanya diberikan teguran untuk tak lagi mengulangi perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut.
Terlepas dari itu, Digelarnya dua pemilihan secara beririsan di tahun yang sama tentu nantinya membuat kerja-kerja penyelenggara pemilu semakin rumit.
Pembentukan penyelenggara ad hoc, seperti PPK, PPS, PPLN, maupun KPU itu sendiri menjadi elemen yang paling penting dan strategis dalam mewujudkan pemilu yang bebas dan adil serta berkualitas dan berintegritas adalah penyelenggara pemilu.
Para penyelenggara pemilu ini dianggap sebagai penopang demokrasi. Meski demikian, keberadaan penyelenggara ini berpotensi menjadi penyebab utama dari problematik integritas pemilu karena perannya yang begitu strategis di beberapa tahapan krusial pemilu, seperti pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi tingkat (kecamatan) dilakukan oleh penyelenggara ad hoc.
Berkaca dari penyelenggaran pemilu serentak 2019 lalu, dimana banyaknya kasus-kasus pelanggaran dan beberapa indikasi kecurangan membuktikan bahwa PR besar untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas ternyata masih belum tuntas.
Pelaksanaan pemilu 2019 menorehkan banyak catatan kritis bukan saja terkait penyelenggaraan pemilu serentak, tetapi juga persoalan integritas pemilu itu sendiri.
Pemilu seharusnya menjadikan demokrasi bekerja dengan baik. Namun, ternyata, dalam banyak hal, pemilu gagal mewujudkan cita-cita demokrasi itu karena dipengaruhi manipulasi atau malpraktik pemilu ataupun pelanggaran-pelanggaran pemilu.
Letak aduan berdasarkan tahapan pelaksanaan dalam putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam kurun April-Desember 2019, di tingkat TPS sebanyak 10 aduan (20 persen), tingkat kecamatan 24 aduan (48 persen), tingkat kabupaten/kota 14 aduan (28 persen), dan tingkat provinsi 2 aduan (4 persen).
Dari semua tingkatan tersebut, tahapan rekapitulasi yang melibatkan penyelenggara ad hoc di tingkat kecamatan merupakan tahapan paling rawan terjadi malapraktik.
Pelanggaran yang disengaja atau kecurangan terkait erat dengan penyelenggara pemilu yang dipolitisir, yakni peserta bersekongkol dengan penyelenggara pemilu di tingkat bawah (kecamatan) saat melakukan rekapitulasi.
Pelanggaran integritas penyelenggara pemilu ad hoc ini masih menjadi persoalan untuk dievaluasi di tengah teknis tahapan Pemilu 2024 yang begitu kompleks sehingga celah terjadinya malapraktik pemilu semakin terbuka lebar.
Memperkuat Integritas Pemilu
Sardini (2015) mengatakan, ada adagium integritas pemilu, terdiri dari tiga hal yang merupakan syarat utama pemilu berintegritas.
Pertama, integritas proses/tahapan pemilu; kedua, integritas hasil-hasil pemilu; ketiga, integritas proses/tahapan tersebut sangat ditentukan oleh integritas penyelenggara pemilunya.
Secara umum, pengertian awal integritas pemilu (electoral integrity) merujuk kepada prinsip-prinsip demokrasi dari kesetaraan politik yang digambarkan pada standar internasional.
Berdasarkan Global Commission on Elections, integritas pemilu berarti tidak memihak dan transparan dalam persiapan pengelolaannya melalui siklus pemilu agar pemilu suatu negara di anggap kredibel.
Dalam menjalankan tugas, penyelenggara pemilu juga harus mendasarkan kerjanya kepada tujuh guiding principles yang dirumuskan oleh The Interntional Institute for Democracy and Electoral Asistance (Internasional IDEA), yakni independen, imparsial, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalisme, dan pelayanan.
Selain itu, penyelenggara pemilu yang telah ditetapkan pada hasil rekrutmen KPU dan jajaran dibawahnya, harus berkelaborasi dengan lembaga-lembaga integritas yang bisa dan mampu memberikan penguatan-penguatan SDM bagi penyelenggara yang diberi amanah menjadi ujung tombak implementasi demokrasi.
Sehingga Beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara ad hoc pada Pemilu 2019 lalu, tidak terulang kembali pada pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 mendatang.
Penyelenggara pemilu berpengaruh besar terhadap proses pemilu yang berintegritas. Banyaknya penyelenggara pemilu yang terjerat kasus korupsi dan pelanggaran kode etik di masa lalu menjadi tantangan besar bagi Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027 untuk melahirkan anggota yang berintegritas.
Perekrutan anggota KPU sampai penyelenggara paling bawah, harus lebih diperketat karena integritas menjadi isu paling krusial bagi penyelenggara pemilu di setiap tingkatan.
Kunci dari perkembangan integritas penyelenggara pemilu ada pada masa perekrutan. Perlu ada kajian regulasi dalam Undang-Undang Pemilu atau peraturan KPU, terutama mengenai persyaratan menjadi anggota penyelenggara pemilu ad hoc. (*)