Wiwink-Politik, Minggu 5 Maret 04:40 WIB
Gambar Ilustrasi |
TIMURKOTA.COM, JAKARTA- Putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan tuntutan Partai Prima terkait dengan penundaan Pemilu mendapat reaksi penolakan dari berbagai elemnt masyarakat.
Umumnya, hampir kalangan meminta agar pelaksanaan Pemilu tetap dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Terlebih lagi, tahapan sudah berjalan hampir satu tahun.
Seperti halnya, Netfid Indonesia yang bahkan membuat lima poin tuntutan yang akan mereka perjuangkan terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024.
Merespon putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang gugatan perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Netfid Indonesia memandang putusan tersebut telah memantik kegaduhan publik, terutama mengganggu proses dan tahapan Pemilu 2024 yang sedang berjalan.
Mengutip salah satu isi putusan, Majelis Hakim menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
Jika demikian, artinya Pemilu ditunda hingga Juli 2025. Putusan PN Jakarta Pusat atas perkara yang dimaksud tentu problematis di tengah – tengah persiapan Pemilu 2024 yang tinggal menghitung hari.
Ketidakhati-hatian PN Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara tersebut telah mengakibatkan masifnya penolakan publik, kontroversi, dan menggangu konsentrasi penyelenggara Pemilu dalam mempersiapkan Pemilu 2024.
Jika dicermati secara yuridis, putusan atas gugatan yang dimaksud merupakan gugatan perdata pada umumnya sehingga putusan PN Jakarta Pusat mengenai perkara ini seyogyanya tidak berlaku umum dan mengikat semua pihak.
Putusan atas perkara ini tentu menjadi sebuah momok dalam meregresi tahapan Pemilu 2024, bertentangan dengan Konstitusi UU Dasar Tahun 1945, dan mengancam demokrasi di Indonesia.
Pada sisi lain, Pengadilan Negeri sebagai salah satu lembaga peradilan secara kewenangan tidak berhak mengadili perkara tersebut.
Dalam kerangka sistem hukum Pemilu, hal yang berkaitan dengan sengketa mengenai proses, administrasi, dan hasil Pemilu memiliki ruang tersendiri yang sudah tentu bukan merupakan kompetensi dan wewenang Pengadilan Umum.
Peraturan yang ada telah mengafirmasi bahwa hal tersebut telah diatur dalam UU Pemilu (Etik wilayah DKPP, administrasi wilayah Bawaslu dan PTUN dan Pidana Pemilu wilayah PN) sehingga tidak ada sengketa PMH (perbuatan melawan hukum) dalam Pemilu sebagaimana perkara yang telah diputuskan oleh PN Jakarta Pusat.
Selain itu, perihal penundaan Pemilu, tentu tidak bisa didasari dengan putusan peradilan umum karena telah diatur dalam Konstitusi.
Tentunya, putusan PN Jakarta Pusat sesungguhnya merupakan bentuk kekeliruan yang telah diambil oleh Majelis Hakim yang berakibat pada terancamnya demokrasi di Indonesia.
Atas hal di atas, Netfid Indonesia melihat bahwa PN Jakarta Pusat diduga telah memutuskan perkara yang tidak sinkron antara petitum dan posita karena sudah terang dan jelas kontradiksinya dengan sistem Pemilu yang sudah diatur dalam Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi.
Selain itu, PN Jakarta Pusat telah memutus perkara yang bukan merupakan kewenangannya sehingga vonis atas putusan tersebut tidak bisa dieksesusi.
Oleh karena Itu, Netfid Indonesia menyatakan:
1. Menolak dan melawan segala upaya yang mengarah pada penundaan Pemilu 2024,
2. Mendesak KPU sebagai pihat tergugat untuk melakukan upaya hukum melalui upaya banding,
3. Mendorong KPU untuk tetap berkonsentrasi pada pelaksanaan tahapan Pemilu 2024,
4. Mendesak Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan internal atas sikap majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam memutus perkara tersebut
5. Mendesak Komisi Yudisial untuk mengevaluasi ketua dan majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut